IBNU RUSYD
A.
Pendahuluan
Dominasi
pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri
terhadap elsistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan
bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat
dalam Islam.
Secara
eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam itu tidak ada, yang ada
hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran
Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan
Islam?
Oleh
karena itu dalam makalah ini akan kami paparkan sanggahan Ibnu Rusyd terhadap
tuduhan-tuduhan Imam Ghazali yang menyatakan para filosof Muslim kafir.
B. Riwayat Hidup
Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Nama aslinya adalah
Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520 H. ia berasal dari keluarga besar yang
terkenal yang mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibnu Rusyd
adalah seorang tokoh filsafat, agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada
waktu itu.[1]
Ibnu
Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali gairahnya pada ilmu
pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan
baginya menjadi ilmuan. Faktor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya
adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan otaknya. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan
berhasil menjadi seorang sarjana all
round yang menguasai berbagai disiplin ilmu.
Karier
Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman
pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Pada saat
pemerintahan Khalifah Ya’cub Ibnu Yusuf yang menggantikan ayahnya, Yusuf Abu Muhammad
Abd. Al Mukmin, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang
diberikan kepadanya.[2]
Pada
tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat
Cordova dab dicopot dari segala jabatannya. Semua bukunya dibakar, kecuali yang
bersifat ilmu pengetahuan murni (sains),
seperti kedokteran, metematika, dan astronomi. Menurut Nurcholish Madjid,
terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan perhitungan
politis. Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-ulama konservatif
dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan
Ibnu Rusyd yang tinggi.[3]
Untunglah
masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun).
Pada tahun 1197 M, Khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi
kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia
meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 9 shafar 595 H di Marakesh dalam
usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun
Hijriyah.[4]
C. Karyanya
Karya
tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah:
1. Fashl al-Maqal
fi ma bain al Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal,
berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2. Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat, yang berisikan kritik
terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3. Tahafut
al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al Ghazali yang
berjudul Tahafut al-Falasifat.
D. Jawabannya
Terhadap Sanggahan Al Ghazali
Sehubungan
dengan sanggahan yang mematikan dari Al Ghazali terhadap para filosof Muslim,
tiga butir di antaranya para filosof Muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam,
Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan kebangkitan jasmani di akhirat
tidak ada.[6]
Ibnu
Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut,
yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd
bukan pemikiran para filosof Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al Ghazali
sendiri. Jawaban Ibnu Rusyd terhadap tiga butir masalah tersebut adalah:
1. Alam
Kadim
Menurut
Al-Ghazali, Allah menciptkan alam dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-‘adam, creation ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah
yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan,
justru itulah alam ini, mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu,
menurut filosof Muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari
sesuatu (materi) yang sudah ada.[7]
Menurut Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof
Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah.
Tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk
lain. Karena penciptaan dari tiada (al’adam),
menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi.
Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena
itulah, materi asal alam ini mesti kadim.[8]
2. Allah
tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut Al
Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang
parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al
Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian.[9]
Yang dimaksudkan
para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini
tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni
sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapa pun
kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu.[10]
Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan
Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial)
dan kully (umum). Juz’I adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan
pancaindra. Kully, mencakup berbagai
jenis, bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk
mengetahui yang parsial.[11]
Jadi jelaslah
perbedaan antara Al Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al
Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para
filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun,
pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah Maha Mengetahui (parsial dan umum)
segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah
mengetahuinya.[12]
3. Kebangkitan
jasmani di akhirat
Menurut Ibnu
Rusyd sanggahan Al Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan
jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan
demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di
akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa yang dibangkitkan hanya rohani dan ada pula
rohani dan jasmani. Namun, yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan
kehidupan di dunia ini.[13]
Namun demikian,
Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu
digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi
orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang
baik dan menjauhkan pekerjaan yang buruk.[14]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al Ghazali dan para filisof Muslim
hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar Islam, bukan perbedaan antara
menerima arau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan
ijtihad antara Al Ghazali dan filosof Muslim, atau dengan kata lain perbedaan
otak antara satu orang muslim dengan seorang muslim lain dalam memahami
ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat.[15]
E. Hukum Sebab
Akibat (Kausalitas) dan Hubungannya dengan Mukjizat
Dalam
karyanya Tahafut al-Tahafut, Ibnu
Rusyd mengkritik apa yang telah dikemukakan oleh Al Ghazali tentang hubungan
sebab akibat serta kaitannya dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan
mukjizat nabi. Berikut ini dikemukakan bantahan Ibnu Rusyd tersebut:
1. Terdapat
hubungan yang dharuriy (pasti) antara
sebab dan akibat
Berbeda dengan
Al Ghazali, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa antara sebab dan akibat atau
kausalitas terdapat hubungan keniscayaan. Pengingkaran akan adanya sebab, yang
melahirkan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tidak logis.
Selanjutnya,
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda atau segala sesuatu yang ada di
alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu, yang disebut dengan sifat zatiyah. Dalam arti bahwa untuk
terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang sudah ada
sebelumnya. Bagaimana seseorang bisa mengingkari adanya sebab terhadap musabab,
padahal segala yang maujud ini tidak
bisa dipahami, kecuali dengan mengenali sebab-sebab zatiyat.[16]
2. Hubungan
sebab akibat dengan adat atau kebiasaan
Telah disebutkan
bahwa Al Ghazali memandang hubungan sebab akibat sebagai adat atau kebiasaan.
Ternyata Ibnu Rusyd mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud Al Ghazali
sebagai adat tersebut. Apakah adat fa’il (Allah),
atau adat maujud, atau adat bagi kita
dalam menetapkan sesuatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.[17]
Kalau yang
dimaksud adat bagi Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut sebagai adat
adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan fa’il yang mengakibatkan berulang-ulangnya perhatian fa’il. Hal ini tentu bertentangan dengan
firman Allah yang menyatakan bahwa sunatullah itu tidak akan berganti dan tidak
akan berubah (QS Al Isra’ [17]; 77). Jika yang dimaksud adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku
bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat
namanya, tetapi tabiat. Dan apabila yang dimaksud adalah adat bagi kita dalam
menentukan sesuatu sifat atau predikat terhadap maujud ini, seperti si Fulan biasa (adat) nya melakukan ini,
melakukan itu, maka berarti yang maujud
ini semuanya terlepas daripada nisbat (hubungan)
nya kepada fa’il (Allah).[18]
3. Hubungan
sebab akibat dengan akal
Ibnu Rusyd juga
membantah pendapat Al Ghazali tentang hubungan sebab akibat ini dengan
pandangannya yang bertitik tolak dari akal sehat, yang menurutnya merupakan
dasar yang menentukan. Kata Ibnu Rusyd, menyangkal keberadaan sebab efisien
yang tampak pada hal-hal yang tersasa adalah menyesatkan.orang yang mengingkari
hal tersebutberarti mengingkari apa yang ada dalam pikiran dan lidahnya atau
terbawa oleh keraguan yang menyesatkan.[19]
Ibnu Rusyd
memandang bahwa filsafat tidak hanya terdiri atas akal sehat tetapi juga
Atas ilmu pengetahuan. Secara tegas Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang
segala yang maujud beserta sebab
akibat yang menyertainya. Pengingkaran akan sebab berarti pengingkaran terhadap
akal dan ilmu pengetahuan.[20]
4. Hubungan
sebab akibat dengan mukjizat
Telah disebutkan
bahwa menurut Al Ghazali pengakuan akan adanya hubungan keniscayaan antara
sebab akibat (kausalitas) akan mengakibatkan orang tidak percaya terhadap
adanya mukjizat nabi.[21]
Sehubungan
dengan itu, Ibnu Rusyd membedakan antara dua mukjizat, yaitu mukjizat al-Barraniy dan mukjizat al-jawwaniy. Mukjizat al-Barraniy, ialah mukjizat yang
diberikan pada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya,
seperti tongkat Nabi Musa menjadi ular, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati
dan lainnya. Mukjizat jenis ini saat itu dipandang sebagai mukjizat
ataunperbuatan di luar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu akan dapat
diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan telah dapat
mengungkapkannya, ia tidak lagi dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan di
luar kebiasaan.[22]
Yang kedua
adalah mukjizat al-Jawwaniy ialah
mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah
kenabiaannya, seperti mukjizat Al Quran bagi Nabi Muhammad SAW. Mukjizat inilah
dipandang sebagai mukjizat yang sesungguhnya, karena mukjizat jenis ini tidak
akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan di mana pun dan kapan pun.[23]
Ternyata Ibnu
Rusyd menentang adanya mukjizat al-Barraniy,
sebagai yang dipahami oleh Al Ghazali sesuatu yang terjadi penyimpangan dari
adat atau keiasaan (khariq al-adat). Karena itu, Nabi Isa dapat menghidupkan orang
mati, menurut Ibnu Rusyd, harus ditakwilkan dalam pengertian menghidupkan hati
orang yang tidak beriman menjadi beriman. Sedangkan mukjizat Nabi Ibrahim yang
tidak mempan dibakar api, mungkin saja waktu itu pada diri Nabi Ibrahim
diberikan sifat yang tidak bisa dibakar api, seperti sifat asbestos umpamanya.[24]
Namun hal ini
tidak berarti bahwa Allah mencabut sifat membakar dari api karena sifat
membakar adalah sifat zatiyah dari api. Apabila sifat ini dihilangkan pada api,
ia tidak dapat lagi disebut dengan api.[25]
Atas dasar
inilah, para filosof Muslim tidak ada seorang pun yang mengingkari kemungkinan
adanya perubahan dari satu materi ke materi lain, apabila masih dalam satu
jenis materi yang memiliki unsur-unsur yang sama. Akan tetapi, yang diingkari
filosof Muslim ialah perubahan dari satu materi ke materi lain yang tidak
memiliki unsur-unsur yang sama karena jenisnya memang berbeda.[26]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada
seorang pun di antara para filosof Muslim yang mempersalahkan mukjizat karena
hal ini termasuk soal prinsip yang terdapat dalam syariat. Kalau ada di antara
filosof Muslim yang membahasnya, pelakunya patut dihukum.[27]
F. Kritik Ibnu Rusyd
Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu
Rusyd menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan para filosof Muslim
sebelumnya. Dalam kritiknya ia mengemukakan beberapa kelemahan, kesulitan, dan
pertentangan yang terdapat dalam ramuan Neoplatonisme tersebut sebagai berikut.
1. Bahwa
dari al-Fa’il al-Awwal (pencipta
pertama) hanya memancar satu, bertentangan dengan pendapatnya sendiri, bahwa
yang memancar dari yang satu pertama terdapat padanya yang banyak, padahal dari
yang satu mesti memancar satu. Pendapat ini dapat diterima, kata Ibnu Rusyd,
kalau saja dikatakannya bahwa yang banyak terdapat pada akibat pertama (al-maf’ul al-awwal) dan masing-masing
dari yang banyak itu adalah yang pertama. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin
karena akan memaksanya untuk mengatakan bahwa yang pertama itu adalah yang
banyak.[28]
2. Akibat
kurang ketelitian Al-Farabi dan Ibnu Sina, makapendapat ini telah didikuti
orang banyak, kemudian mereka menisbatkannya kepada para filosof, dalam hal ini
Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat demikian.[29]
Lebih lanjut dikatakan Ibnu Rusyd
bahwa pendapat ini merupakan khayalan dan keyakinan yang jauh lebih lemah
daripada keyakinan teolog muslim, dan ia tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
para filosof muslim, bahkan tidak dapat memberikan kepuasan kepada kaum khitabi (awam) sekalipun.[30]
Oleh sebab itu pendapat yang paling
tepat bahwa pada al-ma’lul awwal
(penyebab pertama) terdapat yang banyak dan yang banyak mesti satu. Dengan
demikian, keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali kepada yang satu
dan yang satu yang telah menciptakan yang banyak itu adalah satu, ia memiliki
arti yang sederhana dan timbul dari satu yang sederhana (Allah).[31]
3. Menurut
Ibnu Rusyd prinsip-prinsip (al-mabadi’)
yang memancar dari prinsip yang lain sebagai yang dikemukakan merupakan sesuatu
yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu. Karena yang mereka maksud bahwa
prinsip-prinsip itu mempunyai maqamat
tertentu dari prinsip yang pertama, di mana wujud prinsip-prinsip itu tidak
sempurna tanpa maqam tersebut.
Korelasi antara prinsip-prinsip ini menghendaki adanya akibat sesamanya, dari
prinsip yang pertama.[32]
G. Pengaruh
Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Ibnu
Rusyd merupakan satu-satunya filosof muslim yang paling besar pengaruhnya ke
Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan
antara agama (wahyu) dan filsafat akal, atau secara kasarnya mempertemukan
antara Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri penting
dalam filsafat Islam.[33]
Menurut
Alwi Shihab, ada dua bentuk pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam meraih
tujuan di atas. Masing-masing pendekatan ditulis dalam buku yang berbeda.
Pendekatan pertama, ia mulai dengan hasil penelitian filsafat, kemudian
berakhir dengan menguraikan apa yang dijelaskan agama. Cara ini ditemukan dalam
bukunya Fashl al-Maqal. Pendekatan
kedua, ia mulai kajiannya dengan menjabarkan ajaran agama, kemudian beranjak
dengan upaya rekonsiliasi dari hasil penelitian filsafat terhadap alam raya.[34] Cara
ini dijunpai dalam bukunya al-kasyf’an
Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat.
Menurut
Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap
pemikiran Ibnu Rusyd, yaitu:
1. Frederick
II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada
komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Komentar tersebut
diterjemahkan, kemudian tersebar luas di Eropa.
2. Orang-orang
Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd
dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai
perantara filsafat Ibnu Rusyd dan filsafat Barat (Kristen).
3. Sebagian
pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles,
sebaiknya membaca karya-karya Ibnu Rusyd pada abad ke-16 ditujukan untuk lebih
memahami Aristoteles daripada Ibnu Rusyd sendiri.[35]
Pemikiran Ibnu Rusyd merembes ke Eropa melalui
berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan dilakukan oleh
murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh orang-orang
Yahudi. Di saat akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan
penerjemahan besar-besaran di Eropa. Di antara penerjemah lain yang terkenal
ialah Michael Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman dan Clunimus ben
Clunimus (Yahudi).[36]
Kesimpulan
1. Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Nama aslinya adalah
Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520 H. ia berasal dari keluarga besar yang
terkenal yang mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).
2. Tuduhan
Imam Al-Ghazali yang mengatakan para filosof Muslim kafir mendapat sanggahan
dari Ibnu Rusyd, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib
menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan
Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof Muslim yang rancu,
melainkan pemikiran Al Ghazali sendiri.
3. Pemikiran
Ibnu Rusyd merembes ke Eropa melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan.
Penerjemahan dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok
Eropa dan oleh orang-orang Yahudi. Di saat akhir hayatnya seorang Archbishop,
Raimond I melakukan penerjemahan besar-besaran di Eropa. Di antara penerjemah
lain yang terkenal ialah Michael Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman dan
Clunimus ben Clunimus (Yahudi).
[1]
Harun Nasution., (1985). Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia.
[2]
Sirajudin Zar., (2012). Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya. Jakarta:
PT. Grafindo Persada. Cet. Ke-5. h. 223
[3] Ibid., h. 224
[4] Ibid.,
[5] Ibid., h. 225
[6] Ibid.,
[7] Ibid., h. 226
[8] Ibid.,
[9] Ibid., h. 229
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid., h. 230
[13]Ibid.,
[14] Ibid., h. 231
[15] Ibid.,
[16] Ibid., h. 232
[17] Ibid., h. 233
[18] Ibid., h. 234
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid., h. 236
[22] Ibid., h. 237
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid.,
[26] Ibid., h. 238
[27] Ibid.,
[28] Ibid., h. 239
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Ibid., h. 240
[33] Ibid., h. 246
[34] Ibid., h. 246
[35] Ibid., h. 255
[36] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar