Rabu, 25 November 2015

Ibnu Rusyd

IBNU RUSYD


A.    Pendahuluan
Dominasi pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap elsistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam.
Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam itu tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam?
Oleh karena itu dalam makalah ini akan kami paparkan sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tuduhan-tuduhan Imam Ghazali yang menyatakan para filosof Muslim kafir.
B.     Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Nama aslinya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520  H. ia berasal dari keluarga besar yang terkenal yang mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat, agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu.[1]
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali gairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan otaknya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana all round yang menguasai berbagai disiplin ilmu.
Karier Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Pada saat pemerintahan Khalifah Ya’cub Ibnu Yusuf yang menggantikan ayahnya, Yusuf Abu Muhammad Abd. Al Mukmin, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya.[2]
Pada tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dab dicopot dari segala jabatannya. Semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, metematika, dan astronomi. Menurut Nurcholish Madjid, terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan perhitungan politis. Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[3]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, Khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 9 shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.[4]
C.    Karyanya
Karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah:
1.      Fashl al-Maqal fi ma bain al Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.      Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat, yang berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.      Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.      Bidayat al-Mujtahid al Muqtashid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.[5]
D.    Jawabannya Terhadap Sanggahan Al Ghazali
Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al Ghazali terhadap para filosof Muslim, tiga butir di antaranya para filosof Muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang rincian di alam, dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada.[6]
Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al Ghazali sendiri. Jawaban Ibnu Rusyd terhadap tiga butir masalah tersebut adalah:
1.      Alam Kadim
Menurut Al-Ghazali, Allah menciptkan alam dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-‘adam, creation ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan, justru itulah alam ini, mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[7]
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah. Tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.[8]
2.      Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut Al Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian.[9]
Yang dimaksudkan para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapa pun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu.[10]
Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’I adalah satuan yang ada di alam  yang berbentuk materi  dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kully, mencakup berbagai jenis, bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial.[11]
Jadi jelaslah perbedaan antara Al Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah Maha Mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.[12]
3.      Kebangkitan jasmani di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dibangkitkan hanya rohani dan ada pula rohani dan jasmani. Namun, yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini.[13]
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan yang buruk.[14]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al Ghazali dan para filisof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar Islam, bukan perbedaan antara menerima arau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al Ghazali dan filosof Muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu orang muslim dengan seorang muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat.[15]
E.     Hukum Sebab Akibat (Kausalitas) dan Hubungannya dengan Mukjizat
Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd mengkritik apa yang telah dikemukakan oleh Al Ghazali tentang hubungan sebab akibat serta kaitannya dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat nabi. Berikut ini dikemukakan bantahan Ibnu Rusyd tersebut:
1.      Terdapat hubungan yang dharuriy (pasti) antara sebab dan akibat
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa antara sebab dan akibat atau kausalitas terdapat hubungan keniscayaan. Pengingkaran akan adanya sebab, yang melahirkan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tidak logis.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu, yang disebut dengan sifat zatiyah. Dalam arti bahwa untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Bagaimana seseorang bisa mengingkari adanya sebab terhadap musabab, padahal segala yang maujud ini tidak bisa dipahami, kecuali dengan mengenali sebab-sebab zatiyat.[16]
2.      Hubungan sebab akibat dengan adat atau kebiasaan
Telah disebutkan bahwa Al Ghazali memandang hubungan sebab akibat sebagai adat atau kebiasaan. Ternyata Ibnu Rusyd mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud Al Ghazali sebagai adat tersebut. Apakah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau adat bagi kita dalam menetapkan sesuatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.[17]
Kalau yang dimaksud adat bagi Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut sebagai adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan fa’il yang mengakibatkan berulang-ulangnya perhatian fa’il. Hal ini tentu bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa sunatullah itu tidak akan berganti dan tidak akan berubah (QS Al Isra’ [17]; 77). Jika yang dimaksud adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabiat. Dan apabila yang dimaksud adalah adat bagi kita dalam menentukan sesuatu sifat atau predikat terhadap maujud ini, seperti si Fulan biasa (adat) nya melakukan ini, melakukan itu, maka berarti yang maujud ini semuanya terlepas daripada nisbat (hubungan) nya kepada fa’il (Allah).[18]
3.      Hubungan sebab akibat dengan akal
Ibnu Rusyd juga membantah pendapat Al Ghazali tentang hubungan sebab akibat ini dengan pandangannya yang bertitik tolak dari akal sehat, yang menurutnya merupakan dasar yang menentukan. Kata Ibnu Rusyd, menyangkal keberadaan sebab efisien yang tampak pada hal-hal yang tersasa adalah menyesatkan.orang yang mengingkari hal tersebutberarti mengingkari apa yang ada dalam pikiran dan lidahnya atau terbawa oleh keraguan yang menyesatkan.[19]
Ibnu Rusyd memandang bahwa filsafat tidak hanya terdiri atas akal sehat tetapi juga
 Atas ilmu pengetahuan. Secara tegas Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang segala yang maujud beserta sebab akibat yang menyertainya. Pengingkaran akan sebab berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.[20]
4.      Hubungan sebab akibat dengan mukjizat
Telah disebutkan bahwa menurut Al Ghazali pengakuan akan adanya hubungan keniscayaan antara sebab akibat (kausalitas) akan mengakibatkan orang tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi.[21]
Sehubungan dengan itu, Ibnu Rusyd membedakan antara dua mukjizat, yaitu mukjizat al-Barraniy dan mukjizat al-jawwaniy. Mukjizat al-Barraniy, ialah mukjizat yang diberikan pada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat Nabi Musa menjadi ular, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati dan lainnya. Mukjizat jenis ini saat itu dipandang sebagai mukjizat ataunperbuatan di luar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan telah dapat mengungkapkannya, ia tidak lagi dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan di luar kebiasaan.[22]
Yang kedua adalah mukjizat al-Jawwaniy ialah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiaannya, seperti mukjizat Al Quran bagi Nabi Muhammad SAW. Mukjizat inilah dipandang sebagai mukjizat yang sesungguhnya, karena mukjizat jenis ini tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan di mana pun dan kapan pun.[23]
Ternyata Ibnu Rusyd menentang adanya mukjizat al-Barraniy, sebagai yang dipahami oleh Al Ghazali sesuatu yang terjadi penyimpangan dari adat atau keiasaan (khariq al-adat).  Karena itu, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati, menurut Ibnu Rusyd, harus ditakwilkan dalam pengertian menghidupkan hati orang yang tidak beriman menjadi beriman. Sedangkan mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar api, mungkin saja waktu itu pada diri Nabi Ibrahim diberikan sifat yang tidak bisa dibakar api, seperti sifat asbestos umpamanya.[24]
Namun hal ini tidak berarti bahwa Allah mencabut sifat membakar dari api karena sifat membakar adalah sifat zatiyah dari api. Apabila sifat ini dihilangkan pada api, ia tidak dapat lagi disebut dengan api.[25]
Atas dasar inilah, para filosof Muslim tidak ada seorang pun yang mengingkari kemungkinan adanya perubahan dari satu materi ke materi lain, apabila masih dalam satu jenis materi yang memiliki unsur-unsur yang sama. Akan tetapi, yang diingkari filosof Muslim ialah perubahan dari satu materi ke materi lain yang tidak memiliki unsur-unsur yang sama karena jenisnya memang berbeda.[26]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada seorang pun di antara para filosof Muslim yang mempersalahkan mukjizat karena hal ini termasuk soal prinsip yang terdapat dalam syariat. Kalau ada di antara filosof Muslim yang membahasnya, pelakunya patut dihukum.[27]
F.     Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan para filosof Muslim sebelumnya. Dalam kritiknya ia mengemukakan beberapa kelemahan, kesulitan, dan pertentangan yang terdapat dalam ramuan Neoplatonisme tersebut sebagai berikut.
1.      Bahwa dari al-Fa’il al-Awwal (pencipta pertama) hanya memancar satu, bertentangan dengan pendapatnya sendiri, bahwa yang memancar dari yang satu pertama terdapat padanya yang banyak, padahal dari yang satu mesti memancar satu. Pendapat ini dapat diterima, kata Ibnu Rusyd, kalau saja dikatakannya bahwa yang banyak terdapat pada akibat pertama (al-maf’ul al-awwal) dan masing-masing dari yang banyak itu adalah yang pertama. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin karena akan memaksanya untuk mengatakan bahwa yang pertama itu adalah yang banyak.[28]
2.      Akibat kurang ketelitian Al-Farabi dan Ibnu Sina, makapendapat ini telah didikuti orang banyak, kemudian mereka menisbatkannya kepada para filosof, dalam hal ini Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat demikian.[29]
Lebih lanjut dikatakan Ibnu Rusyd bahwa pendapat ini merupakan khayalan dan keyakinan yang jauh lebih lemah daripada keyakinan teolog muslim, dan ia tidak sejalan dengan prinsip-prinsip para filosof muslim, bahkan tidak dapat memberikan kepuasan kepada kaum khitabi (awam) sekalipun.[30]
Oleh sebab itu pendapat yang paling tepat bahwa pada al-ma’lul awwal (penyebab pertama) terdapat yang banyak dan yang banyak mesti satu. Dengan demikian, keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali kepada yang satu dan yang satu yang telah menciptakan yang banyak itu adalah satu, ia memiliki arti yang sederhana dan timbul dari satu yang sederhana (Allah).[31]
3.      Menurut Ibnu Rusyd prinsip-prinsip (al-mabadi’) yang memancar dari prinsip yang lain sebagai yang dikemukakan merupakan sesuatu yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu.  Karena yang mereka maksud bahwa prinsip-prinsip itu mempunyai maqamat tertentu dari prinsip yang pertama, di mana wujud prinsip-prinsip itu tidak sempurna tanpa maqam tersebut. Korelasi antara prinsip-prinsip ini menghendaki adanya akibat sesamanya, dari prinsip yang pertama.[32]
G.    Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Ibnu Rusyd merupakan satu-satunya filosof muslim yang paling besar pengaruhnya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat akal, atau secara kasarnya mempertemukan antara Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri penting dalam filsafat Islam.[33]
Menurut Alwi Shihab, ada dua bentuk pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam meraih tujuan di atas. Masing-masing pendekatan ditulis dalam buku yang berbeda. Pendekatan pertama, ia mulai dengan hasil penelitian filsafat, kemudian berakhir dengan menguraikan apa yang dijelaskan agama. Cara ini ditemukan dalam bukunya Fashl al-Maqal. Pendekatan kedua, ia mulai kajiannya dengan menjabarkan ajaran agama, kemudian beranjak dengan upaya rekonsiliasi dari hasil penelitian filsafat terhadap alam raya.[34] Cara ini dijunpai dalam bukunya al-kasyf’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran Ibnu Rusyd, yaitu:
1.      Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Komentar tersebut diterjemahkan, kemudian tersebar luas di Eropa.
2.      Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai perantara filsafat Ibnu Rusyd dan filsafat Barat (Kristen).
3.      Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca karya-karya Ibnu Rusyd pada abad ke-16 ditujukan untuk lebih memahami Aristoteles daripada Ibnu Rusyd sendiri.[35]
Pemikiran Ibnu Rusyd merembes ke Eropa melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh orang-orang Yahudi. Di saat akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan penerjemahan besar-besaran di Eropa. Di antara penerjemah lain yang terkenal ialah Michael Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman dan Clunimus ben Clunimus (Yahudi).[36]






Kesimpulan

1.      Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Nama aslinya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520  H. ia berasal dari keluarga besar yang terkenal yang mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).
2.      Tuduhan Imam Al-Ghazali yang mengatakan para filosof Muslim kafir mendapat sanggahan dari Ibnu Rusyd, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al Ghazali sendiri.
3.      Pemikiran Ibnu Rusyd merembes ke Eropa melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh orang-orang Yahudi. Di saat akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan penerjemahan besar-besaran di Eropa. Di antara penerjemah lain yang terkenal ialah Michael Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman dan Clunimus ben Clunimus (Yahudi).





[1] Harun Nasution., (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia. 
[2] Sirajudin Zar., (2012). Filsafat Islam Filosof  dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Cet. Ke-5. h. 223
[3] Ibid., h. 224
[4] Ibid.,
[5] Ibid., h. 225
[6] Ibid.,
[7] Ibid., h. 226
[8] Ibid.,
[9] Ibid., h. 229
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid., h. 230
[13]Ibid.,
[14] Ibid., h. 231
[15] Ibid.,
[16] Ibid., h. 232
[17] Ibid., h. 233
[18] Ibid., h. 234
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid., h. 236
[22] Ibid., h. 237
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid.,
[26] Ibid., h. 238
[27] Ibid.,
[28] Ibid., h. 239
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Ibid., h. 240
[33] Ibid., h. 246
[34] Ibid., h. 246
[35] Ibid., h. 255
[36] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar